Upaya
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Terlihat
ketidak seimbangan produsen/penjual dengan konsumen. Salah satu penyebabnya, konsumen sangat di gandrungi
berbagai tawaran produk barang yang menggiurkan
di pasaran, sehingga tak sempat lagi
memperhatikan mutu, serta efek dari pemakaian barang tersebut.
Di
Surabaya, beberapa waktu lalu, ditemukan pemalsuan beberapa merek produk barang terkenal. Sampo, yang
dipalsukan berupa Sunsilk, Organics, Dimension 2 in 1, Biuti Shampoo 3 in 1,
Rejoice Formula 2 in 1, Clear dan
Pantene Pro. Bedak bayi yang dipalsu: Pigeon, Johnson and Johnson, Zwitsal Baby Powder, Caldine Powder,
Cussen, Amami, Pixy dan She, serta
parfum berupa Axe, Tabach, Gatsby, Marlboro.
Praktik
yang demikian ini, tak tertutup kemungkinan terjadi di Jakarta, Bandung, Denpasar, dan kota besar
lainnya di Tanah Air. Dengan kejadian tsb, konsumen jelas dirugikan. Lalu,
dapatkah konsumen membuktikan dirinya dirugikan oleh akibat yang ditimbulkan
dengan pemakaian merek barang yang palsu tsb? Pembuktian konsumen terkontaminasi,
agaknya sulit, karena harus melalui pembuktian laboratorium.
Karenanya,
posisi konsumen lemah jika dihadapkan dengan
produsen atau penjual. Sehingga, perlu ada tindakan tegas pemerintah dan
usaha keras dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam hal lebih serius mengontrol produk barang yang
beredar serta mempersoalkan produsen
atau penjual yang 'bermasalah' melalui jalur
hukum, agar praktik yang merugikan tsb. tidak tumbuh subur di
pasaran.
Dan
lagi akan menghadapi persaingan ketat di tahun 2010 dan 2020, dengan era pasar bebas yang menuntut
kualitas produk barang yang bermutu.
Jika sejak dini pemerintah tidak dilakukan pembenahan serius serta tindakan
tegas terhadap produsen atau penjual yang 'nakal', maka produk barang kita hanya akan jadi pajangan
dan tetap kalah bersaing dengan negara
lain.
Jaminan Terhadap Konsumen
Kewajiban dasar
produsen atau penjual adalah menjamin produk barang yang dipasarkan bermutu.
Dalam dunia produksi ada 2 (dua) macam jaminan
yaitu express warranty dan implied warranty.
Express
warranty (jaminan tegas), terwujud melalui kartu jaminan atau dengan iklan. Dengan
propaganda iklan, seakan memberikan ketegasan bahwa kualitas produk barang bermutu.
Konsekuensinya, jika barang tsb.
ternyata palsu, rusak dan cacat, maka produsen atau penjual
otomatis bertanggung jawab.
Sayang,
kenyataannya jauh dari harapan di mana masih saja ditemukan barang palsu, daluarsa, rusak, beredar
pasaran. Sehingga perlu disikapi secara tegas oleh pemerintah dalam menangkal
permainan ''kotor'' produsen atau
penjual.
Implied warranty (jaminan yang dianggap
harus diberikan kepada konsumen).
Karena diatur dalam undang-undang, walau tanpa kartu jaminan atau iklan,
produsen/penjual otomatis bertanggung jawab, jika barang palsu, rusak, cacat, apalagi sampai
merugikan konsumen.
Pasal
1233 KUH. Perdata, tiap perikatan lahir karena persetujuan dan undangundang. Hubungan produsen/penjual
dengan pembeli timbul karena kesepakatan.
Di mana berawal dari tawar-menawar sampai timbul kesepakatan dalam transaksi.
Pasal
1320 KUH. Perdata mensyaratkan untuk sah suatu perjanjian harus memenuhi:
(1)
kata sepakat/konsensus. (2) kecakapan (dewasa, tidak sakit ingatan) untuk membuat perikatan. (3)
mengenai hal atau objek tertentu. (4) adanya dasar/sebab yang halal.
Dengan dibelinya produk barang yang
dipasarkan, itu berarti secara terang-terang maupun diam-diam, produsen/penjual
sepakat dengan konsumen, bahwa barang
yang dibeli konsumen tersebut bermutu. Di sisi lain, tidak boleh ada pemaksaan,
kekhilafan, terlebih penipuan produsen/penjual terhadap konsumen.
Konsekuensinya,
jika terjadi penipuan berupa pemalsuan merek produk barang, konsumen dapat
menggugat ganti rugi, berdasarkan wanprestasi
atau perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Tetapi kesulitan
akan timbul, jika konsumen (penggugat), harus membuktikan dirinya mengalami
kerugian.
Melihat problematika tsb, perlu peraturan
sebagai ''payung'' dalam mengatur perlindungan konsumen berupa RUU Perlindungan
Konsumen yang sekarang sudah diajukan ke Mensesneg, harus berisikan: Pertama,
Sistem beban pembuktian terbalik. Di mana, produsen atau penjual, yang harus
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, bukan konsumen. Kedua, Konsumen bisa perorangan/ bersama-sama (Class
action) dapat menggugat secara kolektif terhadap produsen, penjual, melalui
pengadilan.
Di
sisi lain, harus ada political will pemerintah, untuk tegas menerapkan sanksi
pidana. Di mana produsen atau penjual terbukti melakukan penipuan/palsu merek
produk barang tertentu atau merek milik orang lain untuk diperdagangkan dengan
penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta. (Pasal 79
UU Merek).
Dengan
kian ketatnya persaingan bisnis dewasa ini, dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam-macam produk
barang, maka perlu keseriusan YLKI memantau produsen atau penjual yang 'nakal',
yang hanya mengejar profit semata dengan mengabaikan kualitas produk
barang.
Fenomena
tsb benar terjadi, di mana ditemukan banyak produk tidak bermutu dan palsu.
Apalagi, masyarakat kita kebanyakan tinggal di desa, tidak tahu akan
efek/indikasi dari produk barang yang digunakan, misalkan makanan kaleng,
minuman botol, obatobatan, dan banyak lagi yang lain. Hal demikian, menjadi
makanan empuk bagi produsen atau penjual untuk membodohi masyarakat dengan
barang palsu.
Karenanya, kiprah YLKI dan cabangnya di
daerah harus serius mengontrol kelaikan produk barang yang dipasarkan.
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat, mengenai tertib niaga dan hukum
perlindungan konsumen, agar tidak terjebak tipu muslihat orang yang hanya ingin
meraup untung dengan korbankan masyarakat.
YLKI diharapkan sering melakukan
pengumuman/imbauan melalui TV, radio, agar masyarakat selektif serta hati-hati
dalam membeli produk barang yang muncul bak cendawan di musim hujan. Juga
membuka ''kotak pengaduan'' bagi masyarakat yang menemukan, merasa dirugikan
dari produk barang yang digunakan. Dan, temuan yang disampaikan masyarakat
harus pula, segera diselesaikan tuntas.
Akhirnya, untuk melindungi konsumen dari ulah
produsen atau penjual yang nakal, semuanya kembali lagi kepada kita, dengan
harapan terus meningkatkan keseriusan, kepekaan dan kepedulian untuk mengontrol
penggunaan merek produk barang yang beredar di pasaran, agar konsumen terhindar
dari permainan kotor produsen/penjual.
Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
Pengertian Konsumen
Terdapat
berbagai pengertian mengenai konsumen walaupun tidak terdapat perbedaan yang mencolok
antara satu pendapat dengan pendapat lainnya.
Konsumen sebagai peng-Indonesia-an istilah asing (Inggris) yaitu
consumer, secara harfiah dalam kamus-kamus diartikan sebagai "seseorang
atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa
tertentu"; atau "sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu
persediaan atau sejumlah barang". ada juga yang mengartikan " setiap
orang yang menggunakan barang atau jasa".
Dari
pengertian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai orang
alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahan atau badan hukum
pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan
barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual,
diproduksi lagi).
Banyak
negara secara tegas menetapkan siapa yang disebut sebagai konsumen dalam perundang-undangannya,
konsumen dibatasi sebagai "setiap orang yang membeli barang yang disepakati,
baik menyangkut harga dan cara-cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka
yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial
(Consumer protection Act No. 68 of 1986 Pasal 7 huruf C).
Selain
itu dalam rancangan akademik Undang-undang tentang Konsumen oleh Tim Peneliti
UI dalam Ketentuan Umum Pasal 1;
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud
dengan :
Konsumen
adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan
tidak untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.
Tim
Peneliti UI tidak membatasi konsumen dalam hubungan dengan didapatkannya barang
yaitu dalam hal ini tidak perlu ada hubungan jual beli. Misalnya seorang kepala
keluarga yang membeli barang untuk dinikmati oleh seluruh anggota keluarga, Maka
anggota keluarga yang memakai walau tidak membeli langsung juga merupakan
kategori konsumen.
Berdasarkan
Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mulai berlaku
satu bulan sejak penggggundangannya, yaitu 20 April 1999. Pasal 1 butir 2 mendefinisikan
konsumen sebagai … "Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingaan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan."
Definisi
ini sesuai dengan pengertian bahhwa konsumen adalah end user / pengguna
terakhir, tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barannng dan/atau
jasatersebut.
Hukum
konsumen belum dikenal sebagaimana kita mengenal cabang hukum pidana, hukum perdata,
hukum adaministrasi, hukum internasional, hukum adat dan berbagai cabang hukum lainnya.
Dalam hal ini juga belum ada kesepakatan hukum konsumen terletak dalam cabang hukum
yang mana.. Hal ini dikarenakan kajian masalah hukum konsumen tersebar dalam berbagai
lingkungan hukum antara lain perdata, pidana, administrasi, dan konvensi
internasional.
Prof. Mochtar Kusumaatmadja, memberikan
batasan hukum konsumen yaitu:
Keseluruhan
kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan dan masalah anatara berbagai
pihak berkaitan dengan dengan barang dan atau jasa konsumen satu sama lain, di
dalam pergaulan hidup.
Hukum
perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen dan menemukan kaidah
hukum konsumen dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidaklah
mudah, hal ini dikarenakan tidak dipakainya istilah konsumen dalam peraturan perundan-undangangan
tersebut walaupun ditemukan sebagian dari subyek-subyek hukum yang memenuhi
kriteria konsumen.
Sebelum
diberlakukannya UU No. 8 tahun 1999 terdapat berbagi peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. Peraturan Prundang-undangan
ini memang tidak secara langsung mengenai perlindungan konsumen, namun secara
tidak langsung dimaksudkan juga untuk melindungi konsumen Peraturan yang
dimaksud antara lain:
1. Keputusan
Menteri Perindustrian No. 727/ M/ SK/ 12/ 1981 tentang Wajib Pemberian Tanda
(Label) Pada Kain Batik Tulis, Kain Batik Kombinasi (Tulis dan Cap), dan
Tekstil yang Dicetak (printed) dengan Motif (Disain) Batik.
2. Peraturan
Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan
Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Republik Indonesia, selanjutnya disingkat
dengan LN RI, No. 23 tahun 1973) tentang Pengawasan Atas Peredaran,
Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida.
3. Keputusan
Menteri Perindustrian No. 27/ M/ SK / 1/ 1984 tentang Syaratsyarat dan ijin
Pengolahan Kembali Pelumas Bekas dan Pencabutan semua Ijin Usaha Industri
Pengolahan Kembali Pelumas Bekas.
4. Peraturan
Pemerintah No. 2/ 1985 (LN RI No. 4 tahun 1985 dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 3283.) tentang Wajib dan Pembebanan Untuk Ditera dan
atau Ditera Ulang Serta Syarat-syarat Bagi Alatalat Ukur, Takar, Timbang dan
Perlengkapannya.
5. Undang-Undang
tentang Pokok Kesehatan No. 9/ 1960 (LN RI No. 131 tahun 1960 dan TLN RI No.
2068).
6. Peraturan
Menteri Kesehatan No. 79/ 1978 tentang Label dan Perikllanan.
7. Peraturan
Menteri Kesehatan No. 79/ 1978 tentang Produksi Dan Peredaran Makanan yang
melarang periklanan yang menyesatkan, mengacaukan, atau menimbulkan penafsiran
salah atas produk yang diklankan. Dengan diberlakukannya UU No 8 Tahun 1999
maka UU tersebut merupakan ketentuan positif yang khusus mengatur perlindungan
konsumen.
Hak-Hak Konsumen
Jika
kita membicarakan tentang perlindungan konsumen hal itu tidak lain adalah juga membicarakan
hak-hak konsumen. Presiden Merika Serikat J. F. Kennedy dalam pesannya kepada
Congress pada tanggal 15 Maret 1962 dengan judul A Special Message of
Protection the Consumer Interest, menjabarkan empat hak konsumen sebagai
berikut:
1. the
right to safety
2. the
right to choose
3. the
right to be informed
4. the
right to be heard
Di
Indonesia Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merumuskan hak-hak konsumen
sebagai berikut:
1. hak
keamanan dan keselamatan
2. hak
mendapatkan informasi yang jelas
3. hak
memilih
4. hak
untuk didengar pendapatnya dan keluhannya
5. hak
atas lingkungan hidup
Selanjutnya
Tim Peneliti UI dalam rancangan akademiknya merumuskan hak-hak konsumen sebagai
berikut:
1. hak
atas keamanan
2. hak
untuk memilih
3. hak
atas informasi
4. hak
untuk didengar
5. hak
untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya
6. hak
untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut.
Hak-hak
konsumen menurut UU No 8 tahun 1999 , dalam Pasal 4 sebagai berikut:
•
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
•
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
•
Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.
•
Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.
•
Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut
•
Hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen.
•
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
•
Hak untuk mendapat kompensasi, ganti
rugi dan / atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
•
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Selain
itu terdapat juga kewajiban dari konsumen yang tertera dalam pasal 5 UU no 8
tahun 1999. Penulis dalam hal ini lebih cenderung memakai kaedah "etis"
P.A.P.A (Privacy, Accuracy, Property, Accessibility) dalam merumuskan hak-hak
konsumen. Artinya hak-hak konsumen meliputi privacy, accuracy, property, dan
accessibility. Perumusan hak-hak dari konsumen tiada lain adalah (juga) untuk
merumuskan kewajiban dari produsen atau penyelenggara jasa. Khusus dalam
penulisan ini kewajiban dari produsen adalah menjamin privacy, accuracy,
property, dan accessibility konsumen di atas.
Aspek Perlindungan konsumen dalam
Penggunaan Digital Signature
Dalam pengguanaan Digital Signature kita
mengenal adanya dua pihak, yaitu:
1. Certificate
Authority (CA)
2. Subscriber
Hubungan
ini menunjukkan kaitan antara CA sebagai penyelenggara jasa dan subscriber sebagai
konsumen. Sebagai penyelenggara jasa, CA harus menjamin hak-hak subsscriber antara
lain:
1. Privacy
Termaktub
dalam pasal 4 butir 1 UU NO 8 tahun 1999. Contoh: Ketika subscriber
meng"apply" kepada CA, subs akan dimintai keterangan mengenai
identitasnya, besar kecilnya keakuratan dari identitas tersebut tergantung dari
jenis tingkatan sertifikat tersebut. Semakin tinggi tingkat sertifikat maka
semakin akurat pula identitas sebenarnya dari subscriber.
Namun
dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah CA sebagai penyi data berkewajiban
menjaga kerahasiaan identitas subs dari pihak yang tidak berkepentingan. CA
hanya boleh mengkonfirm bahwa sertifikat yang dimiliki oleh subs adalah benar
dan diakui oleh CA. Di beberapa negara maju data pribadi mendapat perlindungan
dalam undang-undang (data protection act).
Di
dalam Undang-Undang yang bersangkutan tercantum prinsip perlindungan data (Data
Protection Principles) yang harus ditaati oleh orang-orang yang menyimpan atau memproses
informasi dengan mempergunakan komputer yang menyangkut kehidupan orangorang.
Biro-biro komputer yang menyediakan jasa pelayanan bagi mereka yang hendak memproses
informasi juga sama dikontrol dan harus melakukan pendaftaran menurut
undangundang tersebut. Individu-individu, yang informasi dirinya disimpan pada
komputer, diberi hakhak untuk akses dan hak untuk memperoleh catatan-catatan
pembetulan dan penghapusan informasi yang tidak benar. Mereka itu pun dapat mengajukan
pengaduan kepada Data Protection Registrar (yang daingkat berdasarkan
undang-undang) aapabila mereka tidak merasa puas terhadap cara orang atau
organisasi yang mengumpulkan informasi dan, menurut keadaankeadaan tertentu,
individu-individu memiliki hak atas ganti kerugian.
Pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip perlindungan data dapat menyebabkan tanggung jawab pidana,
adapun prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Informasi
yang dimuat dalam data pribadi harus diperoleh, dan data pribadi itu harus
diproses, secara jujur dan sah.
2. Data
pribadi harus dipegang hanya untuk satu tujuan atau lebih yang spesifik dan
sah.
3. Data
pribadi yang dikuasai untuk satu tujuan dan tujuan-tujuan tidak boleh digunakan
atau disebarluaskan dengan melalui suatu cara yang tidak sesuai dengan tujuan
atau tujuan-tujuan tersebut.
4. Data
pribadi yang dikuasai untuk keperluan suatu tujuan atau tujuan-tujuan harus layak,
relevan dan tidak terlalu luas dalam kaitannya dengan tujuan atau tujuan
tersebut.
5. Data
pribadi harus akurat dan, jika diperlukan, selalu up-to date.
6. Data
pribadi yang dikuasai untuk keperluan suatu tujuan atau tujuan-tujuan tidak boleh
dikuasai terlalu lama dari waktu yang diperlukan untuk kepentingan tujuan atau
tujuan-tujuan tersebut.
7. Tindakan-tindakan
pengamanan yang memadai harus diambil untuk menghadapi akses secara tidak sah,
atau pengubahan, penyebarluasan atau pengrusakan data pribadi serta menghadapi
kerugian tidak terduga atau data pribadi.
8. Seorang
individu akan diberikan hak untuk:
a. Dalam jangka waktu yang wajar dan
tanpa kelambatan serta tanpa biaya: o Diberi penjelasan oleh pihak pengguna
data tentang apakah pihaknya menguasai data pribadi di mana individu yang bersangkutan
menjadi subyek data; dan o Untuk akses
pada suatu data demikian yang dikuasai oleh pihak pengguana data.
b.
Jika dipandang perlu, melakukan perbaikan atau penghapusan data.
Prinsip
yang terakhir berkaitan dengan pengamanan dan ancaman terhadap hal ini ada dua
jenis:
(1) pengamanan dari akses tidak sah,
dan
(2) berkaitan dengan copy-copy back up.
pusat-pusat data yang berisi data pribadi.
Masih
berkaitan dengan masalah jaminan privacy dalam kaitannya dengan kunci privat,
adalah harus adanya jaminan bahwa CA tidak berusaha mencari pasangan kunci
publik dari susbscriber. CA mempunyai peluang yang besar untuk bisa menemukan kunci
pasangan dari subscriber karena CA mempunyai komputer yang lebih canggih untuk
menemukannya.
Selain
itu harus ada jaminan bahwa pencipta kartu yang berisikan kunci privat juga
tidak akan menyebarluaskan atau pun menggandakannya. Hal ini sangat logis
sekali karena pembuat kartu selain mengetahui kunci publik juga mengetahui
kunci privatnya karena ia adalah penciptanya. Untuk menjamin hal ini perlu
adanya suatu notary sysrem yang menjamin hal tersebut.
2. Accuracy
Termaksud
dalam pasal 4 butir 2,3, dan 8 UU No 8 tahun 1999. Dalam prinsip ini terkandung
pengertian "ketepatan" antara apa yang diminta dengan apa yang
didapatkan. Bahwa apa yang didapat oleh subs sesuai dengan apa yang ia minta
berdasarkan informasi yang diterimanya. Ketepatan informasi (informasi yang
benar tanpa tipuan) juga merupakan prinsip accuracy. Sebagai contoh: subs yang
meminta level tertentu dari sertifikat sebaiknya tidak diberikan level yang lebih
rendah atau lebih tinggi. CA juga berkewajiban memberitahukan segala keterangan
yang berkaitan dengan penawaran maupun permintaan yang diajukan.
Secara
tidak langsung subs berhak untuk mendapatkan CA yang berlisensi artinya ketika
subs mengakses ke CA, terdapat praduga bahwa CA adalah CA yang sah dan
berlisensi dan subs harus dilindungi dari penyimpangan CA yang gadungan.
3. Property
Termaktub
dalam pasal 4 buutir 8 UU No 8 tahun 1999. Subs harus dilindungi hak miliknya
dari segala penyimpangan yang mungkin terjadi akibat masuknya subs ke dalam
sistem ini. Artinya subs berhak dilindungi dari segala bentuk penyadapan,
penggandaan, dan pencurian. Jika hal ini terjadi maka CA berkewajiban mengganti
kerugian yang diderita.
4. Accessibility
Termaktub
dalam pasal 4 butir4, 5, 6,dan 7 UU No 8 tahun 1999. Bahwa setiap pribadi
berhak medapat perlakuan yang sama dalam hal untuk mengakses dan informasi.
Artinya tiap subs bisa masuk ke dalam sistem ini jika memenuhi persyaratan, dan
ia bisa mempergunakan sistem ini tanpa adanya hambatan. Dan subs juga berhak
untuk didengar pendapat dan keluhannya.
Kesimpulan
Hak-hak
konsumen untuk tercapainya perlindungan konsumen sudah tercantum atau
dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, yaitu UU No 8 tahun 1999. Maka artinya
hak-hak tersebut sudah diakui keberadaannya dan memiliki kepastian hukumnya yang
diatur dalam Undang-Undang positif. Upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen
yang merasa dirugikan bisa menggunakan pasalpasal dalam UU No 8 tahun 1999 ini.
Dalam
kaitannya dengan penggunaan digital signature , CA dalam kedudukan yang lebih
kuat harus bisa menjamin hak-hak konsumen. Terutama dalam perjanjian adhesi
antara CA dan subscriber. Perjanjian diajukan sebaiknya tidak hanya berat sebelah,
sehingga subscriber tidak mempunyai posisi penawaran (bargaining power). Untuk menutup resiko atas produk-produk yang
cacat CA dapat mengasuransikan resiko tersebut. Hal ini untuk mengurangi beban
yang harus ditanggung oleh CA apabila suatu saat ada konsimen (subscriber) yang
menuntut CA karena merasa dirugikan.
Refrensi
:
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=perlindungan
konsumen dan analisis sudut pandang etika bisnis dengan menggunakan undang
undng&source