Rabu, 14 November 2012

Corporate social resposibilies


  Pengertian CSR
Corporate social resposibility tanggung jawab sosial korporasi apa yang dilakukan sebuah organisasi untuk mempengaruhi masyarakat tempatnya berada, seperti lewat program bantuan sukarela.
Pemberdayaan adalah membuat orang mampu untuk melakukan sesuatu dalam pekerjaannya melalui pemberian kebebasan untuk menafsirkan kebijakan atau keputusan dan cara-cara yang dianggap terbaik dalam menyelesaikan tugas .
Pelaksanaan CSR merupakan kepedulian perusahaan memberikan tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar yang dilandasi oleh beberapa aturan, antara lain:
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33; Undang-undang Nomor : 19 Tahun 2003 tentang BUMN; Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007; Undang-undang tentang Perseroan Terbatas Nomor : 40 Tahun 2007 pada Bab V tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yaitu mengatur kewajiban perusahaan untuk memprogramkan dan melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan atau lebih dikenal Corporate Social Responsibility (CSR). Undang-undang tersebut diutamakan pada perusahaan yang kegiatan usahanya dalam bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan CSR.
Bagi kalangan BUMN menyandarkan pada Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; dan aturan teknis di internal sebagai contoh di BUMN PLN dll. Surat Keputusan Direksi PT PLN (Persero) No. 112-1.K/010/Dir 2004 tanggal 18 Juni 2004 tentang Standard Operation Procedure (SOP) Pelaksanaan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; dan Surat Keputusan Direksi PT PLN (Persero) No. 366.K/DIR/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Standard Operation Procedure (SOP) Pelaksanaan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan / Program Partisipasi Pemberdayaan Lingkungan (PKBL/P3L) dengan Komitmen Perusahaan untuk Melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) sebagai Manifestasi Budaya Perusahaan.
Komite Cadbury mendefinisikan Corporate Governance, adalah suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada shareholders.
  Manfaat bagi Masyarakat & Keuntungan Bagi perusahaan adalah :
CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty).   
Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.
Kewenangan Direksi dalam rangka menjalankan perbuatan pengurusan Perseroan, yang secara teoritis di dalam doktrin common law masuk dalam lingkup business judgement adalah berorientasi pada kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan tersebut. Secara singkat tujuan Perseroan tidak lain adalah mencari profit atau keuntungan. Salah satu perbuatan pengurusan Direksi sebagai business judgement dapat diberi contoh adalah mencari partner bisnis, mitra usaha, untuk bersama-sama mendirikan usaha joint venture yang mekanismenya mungkin mirip dengan mekanisme tender untuk tercapainya tujuan Perseroan tadi. Namun dalam konteks business judgement, pemilihan mitra melalui beauty contest dalam hukum Perseroan merupakan bagian dari wewenang Direksi yang masuk dalam perbuatan pengurusan.
Namun demikian dengan hadirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli), telah menjadi perdebatan yang menarik di kalangan pemerhati hukum bisnis, apakah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat menggunakan analogi untuk melakukan perluasan penerapan kaidah UU Anti Monopoli pada ranah perbuatan pengurusan Direksi yang masuk dalam ranah business judgement seperti pemilihan mitra dengan cara beauty contest tersebut.

Apa itu Business Judgement Rule?
Business Judgement Rule (BJR): “the rule shields directors and officers from liability for unprofitable or harmful corporate transactions if the transactions were made in good faith, with due care and within the directors or officers authority”. Jadi BJR adalah perlindungan hukum bagi direktur dan jajarannya dari pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, selama kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis tersebut dilakukan dengan iktikad baik, penuh kehati-hatian sejalan dengan tanggung jawab dan wewenangnya.

BJR dipergunakan untuk melindungi direksi dan jajarannya dari setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis yang dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dengan catatan: selama kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis tersebut dilaksanakan sejalan dengan wewenangnya dan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudent), iktikad baik (goodfaith) dan penuh tanggung jawab (accountable/responsible). (Bandingkan Ps 92 (1) dan (2) jo Ps 97 (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas/UU PT).
BJR dalam praktik Common Law System, dipakai sebagai salah satu aturan main dalam penerapan Good Corporate Governance (Vide Case Gries Sports Enterprises, Inc v Cleveland Browns Football Co., Inc 496 NE 2nd 959 (Ohio 1986); Lewis D Salomon, Donald E Schwart, Jeffry D Bauman and Elliot J Weiss: Corporations Law and Policy Materials and Problems, 4th ed, St.paul Minn, West Group,1998, hal.685).
Artinya barang siapa yang menyangkal berlakunya business judgement rule, hal itu tidak berlaku untuk direksi dalam sebuah keputusan bisnis tertentu atas nama perseroan. Pembuktian dibebankan kepada pihak ketiga yang mendalilkan adanya pelanggaran business judgment rule tersebut. Yang harus dibuktikan adalah bahwa direksi dalam mengambil keputusan bisnis telah melanggar wewenangnya, tidak didasarkan pada kepentingan perseroan dan tidak mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Kesimpulan :
Dalam menjalankan perbuatan pengurusan dan penguasaan (berheer en beschikkingdaden) direksi dilindungi oleh prinsip business judgement rule. Oleh karenanya tidak ada pihak manapun yang dapat mempertanyakan keputusan bisnis yang diambil oleh direksi perseroan yang dilakukan sesuai dengan wewenangnya.

Refrensi :

Selasa, 06 November 2012

Kasus Tentang Perlindungan Konsumen Dan Analisis Dari Sudut Pandang Etika Bisnis Dengan Menggunakan Uu Perlindungan Konsumen


Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen 
    Terlihat ketidak seimbangan produsen/penjual dengan konsumen. Salah satu  penyebabnya, konsumen sangat di gandrungi berbagai tawaran produk    barang yang menggiurkan di pasaran, sehingga tak sempat lagi    memperhatikan mutu, serta efek dari pemakaian barang tersebut.
Di Surabaya, beberapa waktu lalu, ditemukan pemalsuan beberapa merek    produk barang terkenal. Sampo, yang dipalsukan berupa Sunsilk, Organics, Dimension 2 in 1, Biuti Shampoo 3 in 1, Rejoice Formula 2 in    1, Clear dan Pantene Pro. Bedak bayi yang dipalsu: Pigeon, Johnson and    Johnson, Zwitsal Baby Powder, Caldine Powder, Cussen, Amami, Pixy dan    She, serta parfum berupa Axe, Tabach, Gatsby, Marlboro. 
Praktik yang demikian ini, tak tertutup kemungkinan terjadi di    Jakarta, Bandung, Denpasar, dan kota besar lainnya di Tanah Air. Dengan kejadian tsb, konsumen jelas dirugikan. Lalu, dapatkah konsumen membuktikan dirinya dirugikan oleh akibat yang ditimbulkan dengan pemakaian merek barang yang palsu tsb? Pembuktian konsumen terkontaminasi, agaknya sulit, karena harus melalui pembuktian    laboratorium.
Karenanya, posisi konsumen lemah jika dihadapkan dengan    produsen atau penjual. Sehingga, perlu ada tindakan tegas pemerintah dan usaha keras dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam  hal lebih serius mengontrol produk barang yang beredar serta    mempersoalkan produsen atau penjual yang 'bermasalah' melalui jalur   hukum, agar praktik yang merugikan tsb. tidak tumbuh subur di pasaran. 
Dan lagi akan menghadapi persaingan ketat di tahun 2010 dan 2020,    dengan era pasar bebas yang menuntut kualitas produk barang yang   bermutu. Jika sejak dini pemerintah tidak dilakukan pembenahan serius serta tindakan tegas terhadap produsen atau penjual yang 'nakal', maka    produk barang kita hanya akan jadi pajangan dan tetap kalah bersaing    dengan negara lain.  

Jaminan Terhadap Konsumen     
Kewajiban dasar produsen atau penjual adalah menjamin produk barang yang dipasarkan bermutu. Dalam dunia produksi ada 2 (dua) macam  jaminan yaitu express warranty dan implied warranty. 
Express warranty (jaminan tegas), terwujud melalui kartu jaminan atau dengan iklan. Dengan propaganda iklan, seakan memberikan ketegasan bahwa kualitas produk barang bermutu. Konsekuensinya, jika barang tsb.    ternyata palsu, rusak dan cacat, maka produsen atau penjual otomatis    bertanggung jawab. 
Sayang, kenyataannya jauh dari harapan di mana masih saja ditemukan  barang palsu, daluarsa, rusak, beredar pasaran. Sehingga perlu disikapi secara tegas oleh pemerintah dalam menangkal permainan    ''kotor'' produsen atau penjual. 
        Implied warranty (jaminan yang dianggap harus diberikan kepada    konsumen). Karena diatur dalam undang-undang, walau tanpa kartu jaminan atau iklan, produsen/penjual otomatis bertanggung jawab, jika   barang palsu, rusak, cacat, apalagi sampai merugikan konsumen. 
   Pasal 1233 KUH. Perdata, tiap perikatan lahir karena persetujuan dan    undangundang. Hubungan produsen/penjual dengan pembeli timbul karena    kesepakatan. Di mana berawal dari tawar-menawar sampai timbul  kesepakatan dalam transaksi.      
Pasal 1320 KUH. Perdata mensyaratkan untuk sah suatu perjanjian harus    memenuhi:
(1) kata sepakat/konsensus. (2) kecakapan (dewasa, tidak    sakit ingatan) untuk membuat perikatan. (3) mengenai hal atau objek tertentu. (4) adanya dasar/sebab yang halal. 
     Dengan dibelinya produk barang yang dipasarkan, itu berarti secara terang-terang maupun diam-diam, produsen/penjual sepakat dengan  konsumen, bahwa barang yang dibeli konsumen tersebut bermutu. Di sisi lain, tidak boleh ada pemaksaan, kekhilafan, terlebih penipuan produsen/penjual terhadap konsumen. 
     Konsekuensinya, jika terjadi penipuan berupa pemalsuan merek produk barang, konsumen dapat menggugat ganti rugi, berdasarkan wanprestasi  atau perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Tetapi kesulitan akan timbul, jika konsumen (penggugat), harus membuktikan dirinya mengalami kerugian. 
     Melihat problematika tsb, perlu peraturan sebagai ''payung'' dalam mengatur perlindungan konsumen berupa RUU Perlindungan Konsumen yang sekarang sudah diajukan ke Mensesneg, harus berisikan: Pertama, Sistem beban pembuktian terbalik. Di mana, produsen atau penjual, yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, bukan konsumen. Kedua,  Konsumen bisa perorangan/ bersama-sama (Class action) dapat menggugat secara kolektif terhadap produsen, penjual, melalui pengadilan. 
Di sisi lain, harus ada political will pemerintah, untuk tegas menerapkan sanksi pidana. Di mana produsen atau penjual terbukti melakukan penipuan/palsu merek produk barang tertentu atau merek milik orang lain untuk diperdagangkan dengan penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta. (Pasal 79 UU Merek). 
Dengan kian ketatnya persaingan bisnis dewasa ini, dalam merebut  pangsa pasar melalui bermacam-macam produk barang, maka perlu keseriusan YLKI memantau produsen atau penjual yang 'nakal', yang hanya mengejar profit semata dengan mengabaikan kualitas produk barang. 
Fenomena tsb benar terjadi, di mana ditemukan banyak produk tidak bermutu dan palsu. Apalagi, masyarakat kita kebanyakan tinggal di desa, tidak tahu akan efek/indikasi dari produk barang yang digunakan, misalkan makanan kaleng, minuman botol, obatobatan, dan banyak lagi yang lain. Hal demikian, menjadi makanan empuk bagi produsen atau penjual untuk membodohi masyarakat dengan barang palsu. 
        Karenanya, kiprah YLKI dan cabangnya di daerah harus serius mengontrol kelaikan produk barang yang dipasarkan. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat, mengenai tertib niaga dan hukum perlindungan konsumen, agar tidak terjebak tipu muslihat orang yang hanya ingin meraup untung dengan korbankan masyarakat. 
     YLKI diharapkan sering melakukan pengumuman/imbauan melalui TV, radio, agar masyarakat selektif serta hati-hati dalam membeli produk barang yang muncul bak cendawan di musim hujan. Juga membuka ''kotak pengaduan'' bagi masyarakat yang menemukan, merasa dirugikan dari produk barang yang digunakan. Dan, temuan yang disampaikan masyarakat harus pula, segera diselesaikan tuntas. 
 Akhirnya, untuk melindungi konsumen dari ulah produsen atau penjual yang nakal, semuanya kembali lagi kepada kita, dengan harapan terus meningkatkan keseriusan, kepekaan dan kepedulian untuk mengontrol penggunaan merek produk barang yang beredar di pasaran, agar konsumen terhindar dari permainan kotor produsen/penjual.

Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
Pengertian Konsumen
Terdapat berbagai pengertian mengenai konsumen walaupun tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara satu pendapat dengan pendapat lainnya.  Konsumen sebagai peng-Indonesia-an istilah asing (Inggris) yaitu consumer, secara harfiah dalam kamus-kamus diartikan sebagai "seseorang atau sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu"; atau "sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah barang". ada juga yang mengartikan " setiap orang yang menggunakan barang atau jasa".
Dari pengertian diatas terlihat bahwa ada pembedaan antar konsumen sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahan atau badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).
Banyak negara secara tegas menetapkan siapa yang disebut sebagai konsumen dalam perundang-undangannya, konsumen dibatasi sebagai "setiap orang yang membeli barang yang disepakati, baik menyangkut harga dan cara-cara pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial (Consumer protection Act No. 68 of 1986 Pasal 7 huruf C).
Selain itu dalam rancangan akademik Undang-undang tentang Konsumen oleh Tim Peneliti UI dalam Ketentuan Umum Pasal 1; 
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.
Tim Peneliti UI tidak membatasi konsumen dalam hubungan dengan didapatkannya barang yaitu dalam hal ini tidak perlu ada hubungan jual beli. Misalnya seorang kepala keluarga yang membeli barang untuk dinikmati oleh seluruh anggota keluarga, Maka anggota keluarga yang memakai walau tidak membeli langsung juga merupakan kategori konsumen.
Berdasarkan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mulai berlaku satu bulan sejak penggggundangannya, yaitu 20 April 1999. Pasal 1 butir 2 mendefinisikan konsumen sebagai … "Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingaan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan."
Definisi ini sesuai dengan pengertian bahhwa konsumen adalah end user / pengguna terakhir, tanpa si konsumen merupakan pembeli dari barannng dan/atau jasatersebut.
Hukum konsumen belum dikenal sebagaimana kita mengenal cabang hukum pidana, hukum perdata, hukum adaministrasi, hukum internasional, hukum adat dan berbagai cabang hukum lainnya. Dalam hal ini juga belum ada kesepakatan hukum konsumen terletak dalam cabang hukum yang mana.. Hal ini dikarenakan kajian masalah hukum konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan hukum antara lain perdata, pidana, administrasi, dan konvensi internasional.
Prof. Mochtar Kusumaatmadja, memberikan batasan hukum konsumen yaitu:
Keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan dan masalah anatara berbagai pihak berkaitan dengan dengan barang dan atau jasa konsumen satu sama lain, di dalam pergaulan hidup. 
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen dan menemukan kaidah hukum konsumen dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia tidaklah mudah, hal ini dikarenakan tidak dipakainya istilah konsumen dalam peraturan perundan-undangangan tersebut walaupun ditemukan sebagian dari subyek-subyek hukum yang memenuhi kriteria konsumen.
Sebelum diberlakukannya UU No. 8 tahun 1999 terdapat berbagi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen. Peraturan Prundang-undangan ini memang tidak secara langsung mengenai perlindungan konsumen, namun secara tidak langsung dimaksudkan juga untuk melindungi konsumen Peraturan yang dimaksud antara lain:
1.      Keputusan Menteri Perindustrian No. 727/ M/ SK/ 12/ 1981 tentang Wajib Pemberian Tanda (Label) Pada Kain Batik Tulis, Kain Batik Kombinasi (Tulis dan Cap), dan Tekstil yang Dicetak (printed) dengan Motif (Disain) Batik.
2.      Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Republik Indonesia, selanjutnya disingkat dengan LN RI, No. 23 tahun 1973) tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida.
3.      Keputusan Menteri Perindustrian No. 27/ M/ SK / 1/ 1984 tentang Syaratsyarat dan ijin Pengolahan Kembali Pelumas Bekas dan Pencabutan semua Ijin Usaha Industri Pengolahan Kembali Pelumas Bekas.
4.      Peraturan Pemerintah No. 2/ 1985 (LN RI No. 4 tahun 1985 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3283.) tentang Wajib dan Pembebanan Untuk Ditera dan atau Ditera Ulang Serta Syarat-syarat Bagi Alatalat Ukur, Takar, Timbang dan Perlengkapannya.
5.      Undang-Undang tentang Pokok Kesehatan No. 9/ 1960 (LN RI No. 131 tahun 1960 dan TLN RI No. 2068).
6.      Peraturan Menteri Kesehatan No. 79/ 1978 tentang Label dan Perikllanan.
7.      Peraturan Menteri Kesehatan No. 79/ 1978 tentang Produksi Dan Peredaran Makanan yang melarang periklanan yang menyesatkan, mengacaukan, atau menimbulkan penafsiran salah atas produk yang diklankan. Dengan diberlakukannya UU No 8 Tahun 1999 maka UU tersebut merupakan ketentuan positif yang khusus mengatur perlindungan konsumen.
Hak-Hak Konsumen
Jika kita membicarakan tentang perlindungan konsumen hal itu tidak lain adalah juga membicarakan hak-hak konsumen. Presiden Merika Serikat J. F. Kennedy dalam pesannya kepada Congress pada tanggal 15 Maret 1962 dengan judul A Special Message of Protection the Consumer Interest, menjabarkan empat hak konsumen sebagai berikut:
1.      the right to safety
2.      the right to choose
3.      the right to be informed
4.      the right to be heard
Di Indonesia Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merumuskan hak-hak konsumen sebagai berikut:
1.      hak keamanan dan keselamatan
2.      hak mendapatkan informasi yang jelas
3.      hak memilih 
4.      hak untuk didengar pendapatnya dan keluhannya
5.      hak atas lingkungan hidup 

Selanjutnya Tim Peneliti UI dalam rancangan akademiknya merumuskan hak-hak konsumen sebagai berikut:
1.      hak atas keamanan
2.      hak untuk memilih
3.      hak atas informasi
4.      hak untuk didengar
5.      hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya
6.      hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut. 

 Hak-hak konsumen menurut UU No 8 tahun 1999 , dalam Pasal 4 sebagai berikut:
         Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. 
         Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. 
         Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 
         Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. 
         Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut 
         Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. 
         Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif 
         Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan / atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. 
         Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 
Selain itu terdapat juga kewajiban dari konsumen yang tertera dalam pasal 5 UU no 8 tahun 1999. Penulis dalam hal ini lebih cenderung memakai kaedah "etis" P.A.P.A (Privacy, Accuracy, Property, Accessibility) dalam merumuskan hak-hak konsumen. Artinya hak-hak konsumen meliputi privacy, accuracy, property, dan accessibility. Perumusan hak-hak dari konsumen tiada lain adalah (juga) untuk merumuskan kewajiban dari produsen atau penyelenggara jasa. Khusus dalam penulisan ini kewajiban dari produsen adalah menjamin privacy, accuracy, property, dan accessibility konsumen di atas. 

Aspek Perlindungan konsumen dalam Penggunaan Digital Signature
Dalam pengguanaan Digital Signature kita mengenal adanya dua pihak, yaitu:
1.      Certificate Authority (CA)
2.      Subscriber
Hubungan ini menunjukkan kaitan antara CA sebagai penyelenggara jasa dan subscriber sebagai konsumen. Sebagai penyelenggara jasa, CA harus menjamin hak-hak subsscriber antara lain:
1. Privacy
Termaktub dalam pasal 4 butir 1 UU NO 8 tahun 1999. Contoh: Ketika subscriber meng"apply" kepada CA, subs akan dimintai keterangan mengenai identitasnya, besar kecilnya keakuratan dari identitas tersebut tergantung dari jenis tingkatan sertifikat tersebut. Semakin tinggi tingkat sertifikat maka semakin akurat pula identitas sebenarnya dari subscriber. 
Namun dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah CA sebagai penyi data berkewajiban menjaga kerahasiaan identitas subs dari pihak yang tidak berkepentingan. CA hanya boleh mengkonfirm bahwa sertifikat yang dimiliki oleh subs adalah benar dan diakui oleh CA. Di beberapa negara maju data pribadi mendapat perlindungan dalam undang-undang (data protection act).
Di dalam Undang-Undang yang bersangkutan tercantum prinsip perlindungan data (Data Protection Principles) yang harus ditaati oleh orang-orang yang menyimpan atau memproses informasi dengan mempergunakan komputer yang menyangkut kehidupan orangorang. Biro-biro komputer yang menyediakan jasa pelayanan bagi mereka yang hendak memproses informasi juga sama dikontrol dan harus melakukan pendaftaran menurut undangundang tersebut. Individu-individu, yang informasi dirinya disimpan pada komputer, diberi hakhak untuk akses dan hak untuk memperoleh catatan-catatan pembetulan dan penghapusan informasi yang tidak benar. Mereka itu pun dapat mengajukan pengaduan kepada Data Protection Registrar (yang daingkat berdasarkan undang-undang) aapabila mereka tidak merasa puas terhadap cara orang atau organisasi yang mengumpulkan informasi dan, menurut keadaankeadaan tertentu, individu-individu memiliki hak atas ganti kerugian.
Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip perlindungan data dapat menyebabkan tanggung jawab pidana, adapun prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1.      Informasi yang dimuat dalam data pribadi harus diperoleh, dan data pribadi itu harus diproses, secara jujur dan sah. 
2.      Data pribadi harus dipegang hanya untuk satu tujuan atau lebih yang spesifik dan sah. 
3.      Data pribadi yang dikuasai untuk satu tujuan dan tujuan-tujuan tidak boleh digunakan atau disebarluaskan dengan melalui suatu cara yang tidak sesuai dengan tujuan atau tujuan-tujuan tersebut. 
4.      Data pribadi yang dikuasai untuk keperluan suatu tujuan atau tujuan-tujuan harus layak, relevan dan tidak terlalu luas dalam kaitannya dengan tujuan atau tujuan tersebut.
5.      Data pribadi harus akurat dan, jika diperlukan, selalu up-to date. 
6.      Data pribadi yang dikuasai untuk keperluan suatu tujuan atau tujuan-tujuan tidak boleh dikuasai terlalu lama dari waktu yang diperlukan untuk kepentingan tujuan atau tujuan-tujuan tersebut. 
7.      Tindakan-tindakan pengamanan yang memadai harus diambil untuk menghadapi akses secara tidak sah, atau pengubahan, penyebarluasan atau pengrusakan data pribadi serta menghadapi kerugian tidak terduga atau data pribadi. 
8.      Seorang individu akan diberikan hak untuk: 
a. Dalam jangka waktu yang wajar dan tanpa kelambatan serta tanpa biaya: o Diberi penjelasan oleh pihak pengguna data tentang apakah pihaknya menguasai data pribadi di mana individu yang bersangkutan menjadi subyek data; dan  o Untuk akses pada suatu data demikian yang dikuasai oleh pihak pengguana data. 
b. Jika dipandang perlu, melakukan perbaikan atau penghapusan data.
Prinsip yang terakhir berkaitan dengan pengamanan dan ancaman terhadap hal ini ada dua jenis: 
(1) pengamanan dari akses tidak sah, dan 
(2) berkaitan dengan copy-copy back up. pusat-pusat data yang berisi data pribadi.

Masih berkaitan dengan masalah jaminan privacy dalam kaitannya dengan kunci privat, adalah harus adanya jaminan bahwa CA tidak berusaha mencari pasangan kunci publik dari susbscriber. CA mempunyai peluang yang besar untuk bisa menemukan kunci pasangan dari subscriber karena CA mempunyai komputer yang lebih canggih untuk menemukannya.
Selain itu harus ada jaminan bahwa pencipta kartu yang berisikan kunci privat juga tidak akan menyebarluaskan atau pun menggandakannya. Hal ini sangat logis sekali karena pembuat kartu selain mengetahui kunci publik juga mengetahui kunci privatnya karena ia adalah penciptanya. Untuk menjamin hal ini perlu adanya suatu notary sysrem yang menjamin hal tersebut.
2. Accuracy
Termaksud dalam pasal 4 butir 2,3, dan 8 UU No 8 tahun 1999. Dalam prinsip ini terkandung pengertian "ketepatan" antara apa yang diminta dengan apa yang didapatkan. Bahwa apa yang didapat oleh subs sesuai dengan apa yang ia minta berdasarkan informasi yang diterimanya. Ketepatan informasi (informasi yang benar tanpa tipuan) juga merupakan prinsip accuracy. Sebagai contoh: subs yang meminta level tertentu dari sertifikat sebaiknya tidak diberikan level yang lebih rendah atau lebih tinggi. CA juga berkewajiban memberitahukan segala keterangan yang berkaitan dengan penawaran maupun permintaan yang diajukan.
Secara tidak langsung subs berhak untuk mendapatkan CA yang berlisensi artinya ketika subs mengakses ke CA, terdapat praduga bahwa CA adalah CA yang sah dan berlisensi dan subs harus dilindungi dari penyimpangan CA yang gadungan.
3. Property
Termaktub dalam pasal 4 buutir 8 UU No 8 tahun 1999. Subs harus dilindungi hak miliknya dari segala penyimpangan yang mungkin terjadi akibat masuknya subs ke dalam sistem ini. Artinya subs berhak dilindungi dari segala bentuk penyadapan, penggandaan, dan pencurian. Jika hal ini terjadi maka CA berkewajiban mengganti kerugian yang diderita.
4. Accessibility
Termaktub dalam pasal 4 butir4, 5, 6,dan 7 UU No 8 tahun 1999. Bahwa setiap pribadi berhak medapat perlakuan yang sama dalam hal untuk mengakses dan informasi. Artinya tiap subs bisa masuk ke dalam sistem ini jika memenuhi persyaratan, dan ia bisa mempergunakan sistem ini tanpa adanya hambatan. Dan subs juga berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya. 

Kesimpulan
Hak-hak konsumen untuk tercapainya perlindungan konsumen sudah tercantum atau dituangkan dalam bentuk Undang-Undang, yaitu UU No 8 tahun 1999. Maka artinya hak-hak tersebut sudah diakui keberadaannya dan memiliki kepastian hukumnya yang diatur dalam Undang-Undang positif. Upaya hukum yang dilakukan oleh konsumen yang merasa dirugikan bisa menggunakan pasalpasal dalam UU No 8 tahun 1999 ini.
Dalam kaitannya dengan penggunaan digital signature , CA dalam kedudukan yang lebih kuat harus bisa menjamin hak-hak konsumen. Terutama dalam perjanjian adhesi antara CA dan subscriber. Perjanjian diajukan sebaiknya tidak hanya berat sebelah, sehingga subscriber tidak mempunyai posisi penawaran (bargaining power).  Untuk menutup resiko atas produk-produk yang cacat CA dapat mengasuransikan resiko tersebut. Hal ini untuk mengurangi beban yang harus ditanggung oleh CA apabila suatu saat ada konsimen (subscriber) yang menuntut CA karena merasa dirugikan.

Refrensi :

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=perlindungan konsumen dan analisis sudut pandang etika bisnis dengan menggunakan undang undng&source