Rabu, 14 November 2012

Corporate social resposibilies


  Pengertian CSR
Corporate social resposibility tanggung jawab sosial korporasi apa yang dilakukan sebuah organisasi untuk mempengaruhi masyarakat tempatnya berada, seperti lewat program bantuan sukarela.
Pemberdayaan adalah membuat orang mampu untuk melakukan sesuatu dalam pekerjaannya melalui pemberian kebebasan untuk menafsirkan kebijakan atau keputusan dan cara-cara yang dianggap terbaik dalam menyelesaikan tugas .
Pelaksanaan CSR merupakan kepedulian perusahaan memberikan tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar yang dilandasi oleh beberapa aturan, antara lain:
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33; Undang-undang Nomor : 19 Tahun 2003 tentang BUMN; Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007; Undang-undang tentang Perseroan Terbatas Nomor : 40 Tahun 2007 pada Bab V tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yaitu mengatur kewajiban perusahaan untuk memprogramkan dan melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan atau lebih dikenal Corporate Social Responsibility (CSR). Undang-undang tersebut diutamakan pada perusahaan yang kegiatan usahanya dalam bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan CSR.
Bagi kalangan BUMN menyandarkan pada Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; dan aturan teknis di internal sebagai contoh di BUMN PLN dll. Surat Keputusan Direksi PT PLN (Persero) No. 112-1.K/010/Dir 2004 tanggal 18 Juni 2004 tentang Standard Operation Procedure (SOP) Pelaksanaan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; dan Surat Keputusan Direksi PT PLN (Persero) No. 366.K/DIR/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Standard Operation Procedure (SOP) Pelaksanaan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan / Program Partisipasi Pemberdayaan Lingkungan (PKBL/P3L) dengan Komitmen Perusahaan untuk Melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) sebagai Manifestasi Budaya Perusahaan.
Komite Cadbury mendefinisikan Corporate Governance, adalah suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan yang diperlukan oleh perusahaan untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan pertanggungjawaban kepada shareholders.
  Manfaat bagi Masyarakat & Keuntungan Bagi perusahaan adalah :
CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty).   
Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.
Kewenangan Direksi dalam rangka menjalankan perbuatan pengurusan Perseroan, yang secara teoritis di dalam doktrin common law masuk dalam lingkup business judgement adalah berorientasi pada kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan tersebut. Secara singkat tujuan Perseroan tidak lain adalah mencari profit atau keuntungan. Salah satu perbuatan pengurusan Direksi sebagai business judgement dapat diberi contoh adalah mencari partner bisnis, mitra usaha, untuk bersama-sama mendirikan usaha joint venture yang mekanismenya mungkin mirip dengan mekanisme tender untuk tercapainya tujuan Perseroan tadi. Namun dalam konteks business judgement, pemilihan mitra melalui beauty contest dalam hukum Perseroan merupakan bagian dari wewenang Direksi yang masuk dalam perbuatan pengurusan.
Namun demikian dengan hadirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli), telah menjadi perdebatan yang menarik di kalangan pemerhati hukum bisnis, apakah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dapat menggunakan analogi untuk melakukan perluasan penerapan kaidah UU Anti Monopoli pada ranah perbuatan pengurusan Direksi yang masuk dalam ranah business judgement seperti pemilihan mitra dengan cara beauty contest tersebut.

Apa itu Business Judgement Rule?
Business Judgement Rule (BJR): “the rule shields directors and officers from liability for unprofitable or harmful corporate transactions if the transactions were made in good faith, with due care and within the directors or officers authority”. Jadi BJR adalah perlindungan hukum bagi direktur dan jajarannya dari pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, selama kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis tersebut dilakukan dengan iktikad baik, penuh kehati-hatian sejalan dengan tanggung jawab dan wewenangnya.

BJR dipergunakan untuk melindungi direksi dan jajarannya dari setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis yang dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dengan catatan: selama kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis tersebut dilaksanakan sejalan dengan wewenangnya dan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian (prudent), iktikad baik (goodfaith) dan penuh tanggung jawab (accountable/responsible). (Bandingkan Ps 92 (1) dan (2) jo Ps 97 (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas/UU PT).
BJR dalam praktik Common Law System, dipakai sebagai salah satu aturan main dalam penerapan Good Corporate Governance (Vide Case Gries Sports Enterprises, Inc v Cleveland Browns Football Co., Inc 496 NE 2nd 959 (Ohio 1986); Lewis D Salomon, Donald E Schwart, Jeffry D Bauman and Elliot J Weiss: Corporations Law and Policy Materials and Problems, 4th ed, St.paul Minn, West Group,1998, hal.685).
Artinya barang siapa yang menyangkal berlakunya business judgement rule, hal itu tidak berlaku untuk direksi dalam sebuah keputusan bisnis tertentu atas nama perseroan. Pembuktian dibebankan kepada pihak ketiga yang mendalilkan adanya pelanggaran business judgment rule tersebut. Yang harus dibuktikan adalah bahwa direksi dalam mengambil keputusan bisnis telah melanggar wewenangnya, tidak didasarkan pada kepentingan perseroan dan tidak mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Kesimpulan :
Dalam menjalankan perbuatan pengurusan dan penguasaan (berheer en beschikkingdaden) direksi dilindungi oleh prinsip business judgement rule. Oleh karenanya tidak ada pihak manapun yang dapat mempertanyakan keputusan bisnis yang diambil oleh direksi perseroan yang dilakukan sesuai dengan wewenangnya.

Refrensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar