Pengertian
CSR
Corporate
social resposibility tanggung jawab sosial korporasi apa yang dilakukan sebuah
organisasi untuk mempengaruhi masyarakat tempatnya berada, seperti lewat
program bantuan sukarela.
Pemberdayaan
adalah membuat orang mampu untuk melakukan sesuatu dalam pekerjaannya melalui
pemberian kebebasan untuk menafsirkan kebijakan atau keputusan dan cara-cara
yang dianggap terbaik dalam menyelesaikan tugas .
Pelaksanaan
CSR merupakan kepedulian perusahaan memberikan tanggung jawab sosial kepada
masyarakat sekitar yang dilandasi oleh beberapa aturan, antara lain:
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33; Undang-undang Nomor : 19 Tahun 2003 tentang BUMN; Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007; Undang-undang tentang Perseroan Terbatas Nomor : 40 Tahun 2007 pada Bab V tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yaitu mengatur kewajiban perusahaan untuk memprogramkan dan melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan atau lebih dikenal Corporate Social Responsibility (CSR). Undang-undang tersebut diutamakan pada perusahaan yang kegiatan usahanya dalam bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan CSR.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33; Undang-undang Nomor : 19 Tahun 2003 tentang BUMN; Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor : PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007; Undang-undang tentang Perseroan Terbatas Nomor : 40 Tahun 2007 pada Bab V tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yaitu mengatur kewajiban perusahaan untuk memprogramkan dan melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan atau lebih dikenal Corporate Social Responsibility (CSR). Undang-undang tersebut diutamakan pada perusahaan yang kegiatan usahanya dalam bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan CSR.
Bagi kalangan BUMN menyandarkan
pada Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007
tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan;
dan aturan teknis di internal sebagai contoh di BUMN PLN dll. Surat Keputusan
Direksi PT PLN (Persero) No. 112-1.K/010/Dir 2004 tanggal 18 Juni 2004 tentang
Standard Operation Procedure (SOP) Pelaksanaan Program Kemitraan BUMN dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan; dan Surat Keputusan Direksi PT PLN
(Persero) No. 366.K/DIR/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Standard
Operation Procedure (SOP) Pelaksanaan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil
dan Program Bina Lingkungan / Program Partisipasi Pemberdayaan Lingkungan
(PKBL/P3L) dengan Komitmen Perusahaan untuk Melaksanakan Corporate Social
Responsibility (CSR) dengan Prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG)
sebagai Manifestasi Budaya Perusahaan.
Komite Cadbury mendefinisikan
Corporate Governance, adalah suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan dengan tujuan, agar mencapai keseimbangan antara kekuatan kewenangan
yang diperlukan oleh perusahaan untuk menjamin kelangsungan eksistensinya dan
pertanggungjawaban kepada shareholders.
Manfaat bagi Masyarakat &
Keuntungan Bagi perusahaan adalah :
CSR
akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari
orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi
Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan
CSR meliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan
sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan
peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan,
pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan
jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus
melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah
persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah
harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate
Social Responsibilty).
Pemerintah
bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan
pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan
memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar
ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan
kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan
menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.
Kewenangan
Direksi dalam rangka menjalankan perbuatan pengurusan Perseroan, yang secara
teoritis di dalam doktrin common law masuk dalam lingkup business judgement
adalah berorientasi pada kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan tersebut. Secara singkat tujuan Perseroan tidak lain adalah mencari
profit atau keuntungan. Salah satu perbuatan pengurusan Direksi sebagai
business judgement dapat diberi contoh adalah mencari partner bisnis, mitra
usaha, untuk bersama-sama mendirikan usaha joint venture yang mekanismenya
mungkin mirip dengan mekanisme tender untuk tercapainya tujuan Perseroan tadi.
Namun dalam konteks business judgement, pemilihan mitra melalui beauty contest
dalam hukum Perseroan merupakan bagian dari wewenang Direksi yang masuk dalam
perbuatan pengurusan.
Namun
demikian dengan hadirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli), telah menjadi perdebatan
yang menarik di kalangan pemerhati hukum bisnis, apakah Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) dapat menggunakan analogi untuk melakukan perluasan penerapan
kaidah UU Anti Monopoli pada ranah perbuatan pengurusan Direksi yang masuk
dalam ranah business judgement seperti pemilihan mitra dengan cara beauty
contest tersebut.
Apa itu Business Judgement Rule?
Business
Judgement Rule (BJR): “the rule shields directors and officers from liability
for unprofitable or harmful corporate transactions if the transactions were
made in good faith, with due care and within the directors or officers
authority”. Jadi BJR adalah perlindungan hukum bagi direktur dan jajarannya
dari pertanggungjawaban atas setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau
transaksi yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, selama kebijakan atau
keputusan bisnis atau transaksi bisnis tersebut dilakukan dengan iktikad baik,
penuh kehati-hatian sejalan dengan tanggung jawab dan wewenangnya.
BJR
dipergunakan untuk melindungi direksi dan jajarannya dari setiap kebijakan atau
keputusan bisnis atau transaksi bisnis yang dilakukan untuk kepentingan
perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dengan catatan: selama
kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis tersebut dilaksanakan
sejalan dengan wewenangnya dan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian
(prudent), iktikad baik (goodfaith) dan penuh tanggung jawab (accountable/responsible).
(Bandingkan Ps 92 (1) dan (2) jo Ps 97 (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas/UU PT).
BJR
dalam praktik Common Law System, dipakai sebagai salah satu aturan main dalam
penerapan Good Corporate Governance (Vide Case Gries Sports Enterprises, Inc v
Cleveland Browns Football Co., Inc 496 NE 2nd 959 (Ohio 1986); Lewis D Salomon,
Donald E Schwart, Jeffry D Bauman and Elliot J Weiss: Corporations Law and
Policy Materials and Problems, 4th ed, St.paul Minn, West Group,1998, hal.685).
Artinya
barang siapa yang menyangkal berlakunya business judgement rule, hal itu tidak
berlaku untuk direksi dalam sebuah keputusan bisnis tertentu atas nama
perseroan. Pembuktian dibebankan kepada pihak ketiga yang mendalilkan adanya
pelanggaran business judgment rule tersebut. Yang harus dibuktikan adalah bahwa
direksi dalam mengambil keputusan bisnis telah melanggar wewenangnya, tidak
didasarkan pada kepentingan perseroan dan tidak mengedepankan prinsip
kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
Kesimpulan
:
Dalam menjalankan perbuatan pengurusan
dan penguasaan (berheer en beschikkingdaden) direksi dilindungi oleh prinsip
business judgement rule. Oleh karenanya tidak ada pihak manapun yang dapat
mempertanyakan keputusan bisnis yang diambil oleh direksi perseroan yang
dilakukan sesuai dengan wewenangnya.
Refrensi
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar